Memaklumi Zlatan Ibrahimovic dan Segala Arogansinya melalui I am Zlatan

Judul Buku: I AFeatured imagem Zlatan
Penulis: Zlatan Ibrahimovic dan David Lagercrantz
Penerbit: Albert Bonniers Foerlag
Tebal: 347 halaman
Cetakan: I, 2011

Congkak, pongah, angkuh, dan sombong adalah sejumlah kata yang sepadan dengan arogan. Dalam wiktionary, arogan diartikan sebagai mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah. Dan sepertinya sejauh ini, banyak orang yang sepakat jika striker berkebangsaan Swedia Zlatan Ibrahimovic, merupakan pesepakbola yang paling lekat dengan kata arogan. Bahkan jika perlu, kita meletakkan nama Zlatan sebagai kata ganti arogan, sama seperti Zlatan yang memakai nama dirinya sebagai kata ganti orang pertama. Tidak ada pesepakbola di muka bumi ini yang dapat menyentuh level keangkuhan layaknya Zlatan Ibrahimovic.

Pun dalam otobiografinya yang bertajuk I am Zlatan, bersama penulis yang juga berasal dari Swedia, David Lagercrantz, Zlatan mengingatkan pembacanya, seberapa tinggi level arogansinya. Alih-alih mengenalkan dirinya secara membumi, Zlatan, secara arogan, mendeklarasikan kebenciannya dan sejumlah konflik antara dirinya dengan Pep Guardiola selama berkostum Barca. Mulai dari Guardiola yang tidak memberinya izin untuk mengendarai Porsche dan Ferrari ke tempat latihan, kemudian menyebut Guardiola tidak mengoptimalkan dirinya layaknya membeli sebuah Ferrari dengan mengendarainya seperti Fiat, hingga meneriaki Guardiola ketika Barca dikalahkan oleh Inter Milan di liga Champions 2009-2010.

“You haven’t got any balls!” maki Zlatan kepada Guardiola. “You’re shitting yourself in front of Mourinho! You can go to hell”, tambahnya (lagi-lagi) dengan angkuhnya.

Sampai di sini, timbul beberapa pertanyaan yang cukup menggelitik. Apakah Zlatan merupakan sosok yang arogan semata? Seberapa tinggi level arogansi Zlatan? Seberapa hebat hingga Zlatan dapat searogan itu?

Apa yang menyebabkan Zlatan sangat arogan?

Apakah I am Zlatan dapat menjawab segala arogansi Zlatan? Bisa iya, bisa tidak.

Yang jelas, I am Zlatan dapat memberikan perspektif baru bagi kita untuk memandang Zlatan secara lebih baik.

Dalam seperempat pertama buku ini, kita dapat mengetahui jika Zlatan lahir dan tumbuh tidak dalam lingkungan yang harmonis. Hidup dalam keluarga imigran asal Balkan di Malmo, Swedia, Zlatan kecil tumbuh bersama orang tuanya yang telah bercerai sejak Zlatan belum menginjak usia dua tahun. Ayahnya adalah seorang imigran asal Bosnia yang terkena imbas Balkan Wars dan juga seorang pemabuk berat. Ibunya adalah seorang pekerja serabutan dan tidak segan-segan untuk memukul Zlatan dengan sendok kayu jika dirinya kedapatan berbuat salah.

Mengingat keluarganya merupakan keluarga miskin layaknya banyak keluarga lainnya di Rosengard yang menjadi perkampungan kumuh bagi para imigran, Zlatan kecil pun menjadi pencuri sepeda ulung. Zlatan kecil juga sering mendapati dirinya kelaparan karena stok makanan tidak ada hingga di kemudian hari Zlatan tidak menyukai kulkas yang kosong. Zlatan pun akhirnya bersahabat dengan sepakbola dan sepeda hasil curiannya. Dia sendiri mengaku jika kelak ia tidak menjadi pesepakbola, mungkin Zlatan akan menjadi kriminal.

Sejak berumur enam tahun, dia telah masuk sebuah klub sepakbola yaitu MBI atau Malmo Ball and Sporting Association. Sejak kecil, Zlatan seringkali dianggap terlalu banyak menggiring bola dan meneriaki rekan setimnya. Sering pula, Zlatan dibangkucadangkan karena dirinya yang selalu banyak tingkah. Toh, sejak kecil pula, Zlatan sudah termasuk produktif dalam mencetak gol.

Setelah MBI, Zlatan beranjak ke tim junior Malmo FF di usia tiga belas tahun. Setali tiga uang ketika berada di MBI, Zlatan juga kurang disukai di Malmo FF. Tidak hanya rekan setim, banyak orang tua dari rekan setimnya yang menganggap Zlatan terlalu egois. Namun sekali lagi, Zlatan tetap berhasil memperlihatkan sinarnya dan masuk ke tim senior, hingga dirinya dikontrak oleh Ajax dengan harga 85 million kronor (mata uang Swedia) atau setara dengan 10 juta US dollars. Angka tersebut merupakan rekor tertinggi saat itu bagi pemain skandinavia.

Ajax sejak dulu dipandang sebagai tim yang dapat menjadi batu loncatan bagi pemain muda untuk direkrut oleh klub lain yang lebih besar. Dengan kondisi tersebut, banyak sesama pemain yang ingin mencoba untuk terlihat lebih hebat hingga tak pelak menciptakan iklim persaingan yang kurang sehat di tubuh Ajax. Kemudian persaingan tersebut pun mengerucut antara – tentu saja – Zlatan, dengan seseorang yang menurut Zlatan terlalu bersikeras untuk terlihat hebat, Rafael van der Vaart. Seperti yang bisa dilihat saat ini jika Zlatan lah yang tersenyum di akhir. Van der Vaart pun mungkin tetap dapat tersenyum. Simpul.

Setelah melejit di Ajax, Zlatan pun terbang ke Turin untuk bergabung dengan Juventus. Di Turin, Zlatan bertemu dengan salah satu dari sedikit pelatih yang diseganinya, Fabio Capello. Dengan asuhan Capello pula lah, Zlatan yang tadinya pesepakbola yang hanya mengandalkan permainan cantik dan dribble, berganti menjadi striker haus gol hingga Zlatan mendapat peringkat ketiga dari daftar top skor Serie-A. Zlatan juga mendapatkan dua scudetto bersama Juve sebelum skandal calciopoli menyeruak.

Skandal calciopoli menyebabkan Juve harus rela melepaskan dua scudetto serta turun ke Serie-B. Tak ayal, Zlatan dan pemain-pemain Juve lainnya pun hengkang. Zlatan memilih Inter Milan dalam melanjutkan karirnya. Medio awal karir Zlatan di Inter juga ditandai dengan kelahiran anak pertamanya, Maximilian. Kemudian berturut-turut, Zlatan mempersembahkan dua scudetto sekaligus meraih capocannoniere (gelar top skor Serie-A). Namun, demi memimpikan gelar Liga Champions, Zlatan pun terbang ke Barcelona dan menjadi pemain Barca.

Sampai di sini dulu kita membahas perjalanan karir striker jangkung setinggi 195 cm tersebut. Meminjam definisi arogan menurut wiktionary di paragraf pertama, dikatakan jika superioritas melahirkan sikap memaksa dan pongah.

Superioritas merupakan kata kunci untuk menjelaskan mengapa Zlatan sangat arogan. Tentu saja bukan berarti setiap orang yang superior haruslah bersikap pongah nan angkuh, pun superioritas tidak dapat dijadikan untuk menjadi justifikasi seseorang untuk bersikap arogan. Tapi paling tidak kita memahami jika salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar sah untuk bertingkah angkuh nan arogan adalah dengan superioritas orang itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah, sebegitu superior kah Zlatan? Bagaimana mengukur superioritas seseorang?

Untuk menakar superioritas seseorang, yang paling mudah adalah dengan ukuran prestasi yang diraih. Seseorang dapat dikatakan superior jika dirinya menjadi juara. Dan jelas, jika menelusuri rekam jejak karirnya, Zlatan adalah seorang juara.

Beragam klub besar telah Zlatan bela mulai dari Malmo FF, Ajax, Juventus, Inter hingga Barcelona, AC Milan dan Paris Saint Germain yang belum dibahas. Mudah saja untuk menyebutkan sederet prestasi yang telah Zlatan raih bersama klub-klub besar tersebut. Bahkan cukup mudah untuk mengambil secuplik prestasi Zlatan untuk menunjukkan superioritasnya; di setiap klub yang dibela Zlatan, hampir dapat dipastikan klub tersebut merengkuh juara liga.

Dengan gelar, Zlatan mengukuhkan suatu hal yang cukup penting. Hal penting tersebut adalah pembuktian. Zlatan dapat membuktikan apapun yang perlu dibuktikan pada sekelilingnya. Zlatan dapat membuktikan jika Zlatan bisa menjadi pesepakbola hebat kendati ayahnya hampir tidak pernah datang ke sesi latihan. Zlatan juga membuktikan jika dirinya mampu meraih gelar juara bersama Juventus dan Inter Milan yang saat itu belum pernah lagi mendapatkan scudetto selama belasan tahun. Bahkan, Zlatan cukup berjasa untuk membaurkan pemain-pemain Inter Milan yang saat itu masih terpisah oleh sekat-sekat kebangsaan. Zlatan bisa membungkam Aftonbladet, tabloid asal Swedia yang pernah mencelanya, Zlatan pemain terbaik Swedia, Zlatan meraih FIFA Puskas Award 2013 untuk Goal of the Year dengan tendangan saltonya yang monumental. Zlatan meraih ini. Zlatan meraih itu. Saya tidak akan memperpanjang paragraf ini dengan deretan prestasi –atau yang saya lebih suka menyebutnya dengan pembuktian Zlatan.

Ya. Pembuktian. Hanya dengan cara itulah kita bisa memaklumi Zlatan dengan segala arogansinya dan tingkah pongahnya baik di dalam maupun di luar lapangan. Memang, ada beberapa hal yang tidak bisa Zlatan raih, misalnya gelar Liga Champions ketika Zlatan pindah ke Barcelona ataupun Piala Dunia. Namun, rasa-rasanya, pembuktian yang telah Zlatan tunjukkan sepanjang karirnya cukup memberikan perspektif baru bagaimana memaklumi Zlatan dengan segala arogansinya.

Ya. Pembuktian. I am Zlatan adalah suatu bentuk pembuktian bagi Zlatan. I am Zlatan menawarkan perspektif baru untuk memaklumi tingkahnya yang arogan.

Ya. Pembuktian. Selain sepadan dengan kata arogan, kata Zlatan pun dapat digunakan sebagai kata ganti pembuktian.

Getah Kepengurusan Sepak Bola Indonesia yang Tak Terurus

Manfaatkan hasil clearance Zulkifli Syukur yang tidak sempurna, pemain pengganti Vietnam, Chong Vinh Lee, mencetak gol yang mengubah kedudukan menjadi 2-1.  Tidak tinggal diam, pelatih tim nasional Indonesa berkebangsaan Australia, Alfred Riedl, memasukkan Samsul Arif menggantikan pemain senior Boaz Salossa guna menambah daya gedor.  Enam menit jelang bubaran, pergantian ini berbuah manis dengan gol yang dicetak oleh Samsul Arif sekaligus sebagai penyama kedudukan menjadi 2-2. Angka ini bertahan hingga peluit akhir dibunyikan. Meskipun ada beberapa catatan penting di laga ini, dari segi hasil, imbang melawan tim tuan rumah yang didukung ribuan penonton merupakan hasil yang tidak buruk-buruk amat.

Optimisme pun sedikit-banyak tumbuh pada masyarakat.

Namun harapan tersebut seperti sirna begitu saja setelah mengetahui apa yang terjadi di laga kedua putaran grup, AFF 2014. Filipina mengandaskan Indonesia dengan skor 4-0, negara yang menganaktirikan olahraga sepakbola dapat menghancurkan negara yang menganakemaskan sepakbola (dengan kucuran APBN, sponsor, dukungan penggemar sepak bola Indonesia yang sudah mencapai taraf ‘gila’, dll-), dengan empat gol tanpa balas di stadion My Dinh, Vietnam.

Dengan jumlah poin serta selisih gol yang didapat, kemungkinan untuk lolos pun mengecil menjadi sangat sempit, bahkan lebih sempit dari lubang jarum. Dan pada kenyataanya memang kita tersingkir dari AFF 2014 meskipun kita mengalahkan Laos dengan skor telak 5-1, karena di tempat lain, Vietnam mengandaskan Filipina dengan skor 3-1. Bahkan jika Filipina menang pun, kita belum tentu lolos karena defisit gol antara Indonesia dan Vietnam yang terlampau jauh.

Demikian kilas balik perjalanan getir timnas Indonesia pada AFF 2014. Mungkin bisa dibilang, ini merupakan sekuel dari perjalanan timnas Indonesia  pada AFF 2012 yang bertempat di Malaysia, di mana Indonesia juga tersingkir pada putaran grup.

Saat itu, sejumlah pihak melontarkan kritik terhadap Nil Maizar selaku pelatih timnas Indonesia di AFF 2012 atas kegagalan timnas. Kini, beberapa pihak lainnya mengacungkan jari telunjuknya, menuding Alfred Riedl atas kegagalan timnas. Adilkah penilaian tersebut?

Untuk saya tidak. Berikut penilaian saya. As a reminder, tentu saja tulisan ini sangat terbuka dengan argumentasi, opini, dan sudut pandang lain.


Kala AFF 2012, skuat timnas Indonesia yang berlaga di Kuala Lumpur bukanlah skuat terbaik yang kita miliki. Dualisme kepengurusan menyebabkan pilihan pemain timnas kala itu sangat terbatas. Nil Maizar hanya dapat memilih pemain yang berkompetisi di Indonesian Premier League, sedangkan pemain langganan timnas berlaga di Liga Super Indonesia (ISL). Bambang Pamungkas, Vendry Mofu, Taufiq, dan Andik hanyalah sedikit nama-nama bonafid yang terdapat dalam daftar pemain timnas. Naturalisasi pemain pun saat itu tidak banyak membantu, mulai dari Raphael Maitimo, Tonnie Cussell, hingga striker bertubuh gempal seperti Jhonny van Beukering. Dengan keterbatasan tersebut, pantaskah kita menyalahkan kegagalan Nil Maizar atas AFF 2012?

Begitu pula pada AFF 2014 yang digelar di Vietnam. Riedl baru dikonfirmasi menjadi pelatih Indonesia ketika gelaran AFF 2014 hanya kurang dari dua bulan saja, itu artinya Riedl harus menyeleksi pemain, mood-making, uji coba, dan membangun koordinasi skuat mulai dari formasi, taktik, strategi, hingga starting eleven, hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan saja. Ditambah lagi kompetisi ISL sendiri masih berlangsung hingga November dan uji coba hanya dilakukan satu kali melawan Suriah. Itupun sekaligus proses seleksi. Mepetnya persiapan menyebabkan Riedl kesulitan meramu komposisi terbaik tim merah-putih. Meminjam kalimat akhir pada paragraf sebelumnya, dengan keterbatasan tersebut, pantaskah kita menyalahkan Alfred Riedl atas AFF 2014?

Dengan segala keterbatasan tersebut, pelatih sekelas Jose Mourinho atau Pep Guardiola pun tidak akan dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Jangan salah, bukan berarti mereka (Nil Maizar dan Alfred Riedl) menjalankan tugas mereka sebagai pelatih tanpa cela. Kita tahu pada AFF 2012, seorang pemain bertubuh gempal – jika kata obesitas terlalu kasar – seperti Jhonny van Beukering dijadikan starting line-up pada semua pertandingan kala itu oleh Nil Maizar. Padahal dengan tubuh obesitas “berisi” seperti itu, dia sama sekali tidak dapat mengejar umpan terobosan, selalu kalah lari dari bek lawan, dan tidak dapat melompat lebih tinggi dari pemain lain karena tertahan timbunan lemak di perutnya. Pun di AFF 2014, ketika Alfred Riedl kembali tukangi timnas Indonesia setelah di AFF 2010 menjadikan Indonesia sebagai runner-up. Tidak ada yang salah dengan menggunakan pemain gaek seperti Zulkifli dan Firman Utina, pun tidak masalah pula menggunakan pemain naturalisasi seperti Christian Gonzales dan Sergio Van Dijk. Tapi yang patut dipertanyakan, mengapa Riedl tidak mengikutsertakan pemain muda yang secara fisik lebih siap untuk AFF 2014 seperti Andik Vermansyah, atau Maldini Pali misalnya.

Organisasi Sepak Bola Indonesia sebagai Induk Permasalahan

Yang seharusnya (dan sejak dulu) paling bertanggung jawab atas kemerosotan performa timnas adalah PSSI beserta organisasi kepengurusan lainnya seperti PT Liga Indonesia. Hasil ini merupakan pukulan yang sangat keras bagi timnas Indonesia, lebih keras dari knock-out punch yang dilayangkan Muhammad Ali dan menghempaskan tubuh George  Foreman ke kanvas ring, dan kita telah menerima pukulan ini untuk kesekian kali. Penjadwalan kompetisi yang buruk, sirkus politik dan kepentingan yang tak pernah usai, pemilihan pelatih yang mepet dengan waktu persiapan, korupsi menjamur di berbagai tingkat kepengurusan, fasilitas lapangan yang tidak memadai, tunggakan gaji pemain yang disebabkan ketidakjelasan regulasi anggaran, dan sederet bentuk keteledoran lainnya.  Inkompeten kepengurusan pun diperparah dengan kebebalan menggunakan sistem yang sama.

Ketidakbecusan dalam mengurus organisasi sepak bola Indonesia seperti telah menjadi repetisi bagi PSSI, baik dari zaman Azwar Anas, Agum Gumelar, Nurdin Halid, hingga Djohar Arifin. Seperti yang sudah-sudah, PSSI hanya menjanjikan evaluasi, yang biasanya hanya akan menguap sebagai janji tanpa eksekusi berarti.  Kepengurusan seperti ini tidak akan membuat sepak bola nasional melangkah maju, mungkin mandek, atau malah mundur. Menurut cermat saya, hal yang paling penting dalam persepakbolaan Indonesia saat ini bukanlah mendapatkan pemain di antara dua ratus jiwa penduduk Indonesia. Namun, yang paling krusial adalah menemukan sejumlah pengurus di antara dua ratus jiwa penduduk, yang dapat dipercaya untuk mengelola sepak bola Indonesia.

Revolusioner kiri Tan Malaka, pada naar de Republiek Indonesia, menyatakan jika kita tak bisa mendapatkan kemenangan yang lengkap, sedapat mungkin kita terhindar dari kekalahan. Jangankan untuk mendapatkan kemenangan yang lengkap, yang terjadi adalah kita selalu tidak dapat menghindar dari kekalahan serta kenyataan yang pahit dan getir. Rasa pahit dan getir ini pun akan selalu kita kecap, getah dari kepengurusan yang tidak terurus.